Kerja di Industri Agency Kian Diminati Kaum Milenial, Banyak Tantangannya Loh!
loading...
A
A
A
JAKARTA - Belakangan ini agency menjadi industri yang paling diminati di Jakarta. Konon, gaya hidup penuh hura-hura dan kemewahan meliputi dunia ini. Praktisinya pun terkenal ‘gila kerja’. Sebenarnya ada apa sih di balik industri ini? Mengapa para profesional Jakarta tampak berlomba-lomba menggelutinya?
Dalam bahasa Indonesia, agency diartikan sebagai agen atau peratara. Dalam prakteknya sendiri, agency meliputi beberapa bidang, termasuk Advertising Agency (Biro Iklan), Media Agency, dan Talent Agency.
Selain itu, agency juga bersentuhan, bahkan acap kali, membelah diri menjadi bidang-bidang lain, seperti Production House (PH), Public Relation (PR), dan Event Organizer (EO).
Ajeng Laras Phitaloka, seorang wanita yang berprofesi sebagai Senior Account Executive di salah satu agency mengungkapkan, bahwa stigma ‘gila kerja’ profesi di dunia agency khususnya di bagian Account Executive memang benar adanya. Namun, hal itu menurutnya adalah salah satu bentuk dari tanggung jawab besar bagi seseorang yang berkecimpung dalam profesi tersebut.
“Kalau tanggung jawab terbesarnya itu yang pasti nama baik perusahaan ya, dan tentu saja perekonomian perusahaan, karena kan AE itu kan pada hakikatnya sebagai jembatan antara klien dengan perusahaan, jadi ya kalau misalnya ada kebutuhan dari klien pintunya itu melalui aku,” ujar Ajeng, dalam Podcast Aksi Nyata , di Youtube Partai Perindo, Rabu, (21/12/2022).
Ajeng memaparkan, tugas seorang Account Executive (AE) tidak hanya sekedar men-service klien, tetapi juga bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kelancaran marketing dan bisnis klien. Seorang AE yang baik peduli terhadap permasalahan bisnis klien, serta membuat strategi dan brief yang baik untuk pihak kreatif agar permasalahan tersebut mendapatkan solusi.
Karena itu, dibutuhkan skill dan komunikasi yang persuasif bagi seorang AE agar mampu mendongkrak penjualan, maupun image produk klien tersebut.
“Jadi menurut aku kita itu sebagai AE harus punya skill komunikasi persuasi yang sangat baik. Jadi itu tanggung jawabnya, dan harus memberikan citra yang baik bagi perusahaan dan itu in line dengan money profit pastinya,” ungkapnya.
Baca Juga : Catat! Ini Cara Hadapi Budaya Kerja Baru untuk Milenial dan Gen-Z
Meski begitu, Ajeng tak memungkiri, profesi tersebut menuntutnya untuk bisa seprofesional mungkin untuk menghadapi berbagai macam karakter klien. Ia lantas mengungkapkan salah satu tips saat menghadapi klien yang cukup ‘picky’.
“Biasanya aku redain emosi dulu sih, daripada aku salah ngomong atau segala macem, karena apalagi kalau kita ngadepin klien yang sory boomer itu parah kan dengan cara berpikir kita sebagai gen Z atau millenial misal susah dibilangin, sorry to say gaptek mungkin itu tuh sangat banyak,” tuturnya.
“Jadi ya aku pribadi sih biasanya banyak ngomong ke atasan aku gimana nih cara ngadepinnya. Dan biasanya aku yaudah nggak mau banyak berdebat, biasanya aku nggak ngeiyain banget, karena kalau misalnya aku ngeiyain jadi janji palsu jadinya, jadi yaudah biasanya aku nenangin dulu aja, terus aku list di note aku harus ngomong apa, daripada salah ngomong,” pungkasnya.
Dalam bahasa Indonesia, agency diartikan sebagai agen atau peratara. Dalam prakteknya sendiri, agency meliputi beberapa bidang, termasuk Advertising Agency (Biro Iklan), Media Agency, dan Talent Agency.
Selain itu, agency juga bersentuhan, bahkan acap kali, membelah diri menjadi bidang-bidang lain, seperti Production House (PH), Public Relation (PR), dan Event Organizer (EO).
Baca Juga
Ajeng Laras Phitaloka, seorang wanita yang berprofesi sebagai Senior Account Executive di salah satu agency mengungkapkan, bahwa stigma ‘gila kerja’ profesi di dunia agency khususnya di bagian Account Executive memang benar adanya. Namun, hal itu menurutnya adalah salah satu bentuk dari tanggung jawab besar bagi seseorang yang berkecimpung dalam profesi tersebut.
“Kalau tanggung jawab terbesarnya itu yang pasti nama baik perusahaan ya, dan tentu saja perekonomian perusahaan, karena kan AE itu kan pada hakikatnya sebagai jembatan antara klien dengan perusahaan, jadi ya kalau misalnya ada kebutuhan dari klien pintunya itu melalui aku,” ujar Ajeng, dalam Podcast Aksi Nyata , di Youtube Partai Perindo, Rabu, (21/12/2022).
Ajeng memaparkan, tugas seorang Account Executive (AE) tidak hanya sekedar men-service klien, tetapi juga bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kelancaran marketing dan bisnis klien. Seorang AE yang baik peduli terhadap permasalahan bisnis klien, serta membuat strategi dan brief yang baik untuk pihak kreatif agar permasalahan tersebut mendapatkan solusi.
Karena itu, dibutuhkan skill dan komunikasi yang persuasif bagi seorang AE agar mampu mendongkrak penjualan, maupun image produk klien tersebut.
“Jadi menurut aku kita itu sebagai AE harus punya skill komunikasi persuasi yang sangat baik. Jadi itu tanggung jawabnya, dan harus memberikan citra yang baik bagi perusahaan dan itu in line dengan money profit pastinya,” ungkapnya.
Baca Juga : Catat! Ini Cara Hadapi Budaya Kerja Baru untuk Milenial dan Gen-Z
Meski begitu, Ajeng tak memungkiri, profesi tersebut menuntutnya untuk bisa seprofesional mungkin untuk menghadapi berbagai macam karakter klien. Ia lantas mengungkapkan salah satu tips saat menghadapi klien yang cukup ‘picky’.
“Biasanya aku redain emosi dulu sih, daripada aku salah ngomong atau segala macem, karena apalagi kalau kita ngadepin klien yang sory boomer itu parah kan dengan cara berpikir kita sebagai gen Z atau millenial misal susah dibilangin, sorry to say gaptek mungkin itu tuh sangat banyak,” tuturnya.
“Jadi ya aku pribadi sih biasanya banyak ngomong ke atasan aku gimana nih cara ngadepinnya. Dan biasanya aku yaudah nggak mau banyak berdebat, biasanya aku nggak ngeiyain banget, karena kalau misalnya aku ngeiyain jadi janji palsu jadinya, jadi yaudah biasanya aku nenangin dulu aja, terus aku list di note aku harus ngomong apa, daripada salah ngomong,” pungkasnya.
(wur)